Imam Syafi’i merupakan seorang ulama besar dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris.
Lahir di Gaza (bagian selatan Palestina) pada tahun 150 H atau pertengahan abad kedua hijriyah. Namun, ada pendapat yang menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di Asqalan. Perlu kita ketahui bahwa daerah Gaza dulu namanya adalah Asqalan. Jadi, pendapat yang mengatakan beliau lahir di Asqalan tidak ada salahnya karena pada dasarnya kedua daerah tersebut adalah sama.
Meskipun beliau lahir di Gaza, tapi daerah ini bukanlah kampung halaman Imam Syafi’i. Orangtuanya berasal dari Hijaz (Mekkah). Pada saat beliau lahir, orangtuanya kebetulan berada di Gaza untuk suatu keperluan. Saat Imam Syafi’i masih kecil, ayahnya meninggal dunia di Gaza, sehingga beliau mendapat pengasuhan dari sang ibu.
Lembaran sejarah mencatat tentang dua fenomena besar saat kelahiran Imam Syafi’i, yaitu:
- Ketika Imam Syafi’i masih berada dalam kandungan, ibunya bermimpi bahwa telah keluar sebuah bintang besar dari perutnya dan membumbung tinggi ke atas. Lalu bintang itu meledak dan menerangi seluruh daerah yang dilaluinya. Penafsir mimpi menakwilkan kejadian tersebut dengan akan lahirnya seorang anak yang ilmunya akan meliputi seluruh alam semesta. Hal tersebut memang menjadi kenyataan di mana Imam Syafi’i dan mazhabnya telah tersebar ke seluruh dunia.
- Peristiwa lain ketiaka beliau lahir adalah wafatnya seorang ulama besar yang berada di Baghdad, yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit yang merupakan pencetus mazhab Hanafi. Kemudian wafat juga Imam Ibnu Juraj al-Makky yang merupakan mufti Hijaz saat itu. Ahli firasat menyebutkan bahwa hal tersebut menjadi penanda bahwa anak yang akan lahir tersebut akan menggantikan ulama besar tersebut.
Biografi Imam Syafi’i tidak terlepas dari silsilah keluarga beliau, yaitu Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn Saib ibn Abu Yazid ibn Hasyim ibn Abdul Muthalib ibn Abdul Manaf ibn Qushai.
Baca Juga: Biografi Singkat Imam Empat Mazhab
Pada nenek beliau yang ke-9 yakni ibn Abdul Manaf ibn Qushai juga merupakan nenek ke-4 dari Nabi Muhammad SAW.
Adapun silsilah Nabi Muhammad SAW yakni Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdul Manaf ibn Qushai ibn Kilab ibn Marah ibn Ka’ab ibn Luai ibn Ghalib ibn Fihir ibn Malik ibn Nadhar ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Ma’ad ibn Adnan sampai kepada Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim.
Jadi, sangat jelaslah bagaimana silsilah Imam Syafi’i yang senenek dengan Rasulullah. Sedangkan dari pihak ibu, silsilahnya sampai kepada Ali ibn Abi Thalib.
Nama ibu beliau adalah Fatimah binti Abdullah ibn Hasan ibn Husein ibn Ali ibn Abi Thalib. Dari silsilah tersebut kita temukan bahwa beliau juga menjadi keturunan dari Ali ibn Abi Thalib yang merupakan sahabat dan menantu dari Rasulullah.
Jadi silsilah sang imam tidak perlu kita ragukan lagi karena berada pada garis keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Riwayat Hidup Imam Syafi’i
Ketika ayahnya meninggal, Abu Abdillah Muhammad ibn Idris dibawa kembali oleh ibunya ke Mekkah pada usia dua tahun. Beliau menetap di sana hingga usia 20 tahun. Namun, terdapat perbedaan pendapat oleh ahli sejarah. Ada yang mengatakan hingga usia 13 tahun, 14 tahun, bahkan ada yang menyebutkan hingga 22 tahun.
Imam Syafi’i menuntut ilmu pengetahuan sebagaimana yang orang-orang lakukan saat itu. Islam telah berkembang luas hingga ke Maroko, Spanyol, Iran, Afghanistan, dan lain-lain. Pada masa itu, khalifah-khalifah yang berkuasa juga mengutamakan kemajuan bidang ilmu pengetahuan sehingga banyak berdiri madrasah-madrasah untuk menimba ilmu.
Beliau belajar Al-Quran kepada Ismail ibn Qusthantein. Pada usia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh Al-Quran. Ilmu pengetahuan kala itu sangat luas dan telah berkembang. Beliau tertarik kepada prosa dan sajak Arab klasik. Beliau mempelajari syair terkenal dan mampu menghafalnya.
Selain itu Imam Syafi’i mempelajari ilmu hadits dan fiqih kepada Mufti Mekkah, Muslim ibn Khalid az Zanji dan ulama hadits Sofyan ibn ‘Uwaniah. Tidak hanya itu, beliau juga belajar tentang ushul fiqih, mustalah hadits, tafsir, tajwid, dan banyak lagi.
Beliau telah membagi waktu menjadi tiga bagian dalam kehidupannya. Sepertiga untuk belajar-mengajar, sepertiga untuk beribadah, dan sepertiga untuk tidur. Dari pagi hingga masuk waktu zhuhur, Imam Syafi’i berkhidmat terhadap ilmu pengetahuan.
Pada usia 18 tahun, Imam Syafi’i telah mendapat mandat dari sang guru, Muslim ibn Khalid az Zanji untuk megajar di Masjidil Haram. Orang-orang yang melaksanakan ibadah haji sangat kagum terhadap keluasan ilmu beliau.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Syafi’i juga berguru kepada Imam Malik di Madinah. Imam Malik adalah sosok yang dikagumi oleh Imam Syafi’i. Bahkan pada usia beliau 10 tahun, Imam Syafi’i telah menghafal Kitab Al-Muwatha’ karangan Imam Malik.
Perjalanan ke Madinah untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik tidaklah mudah. Jalan berliku beliau lalui karena Imam Malik kala itu memiliki murid yang sangat banyak. Namun, berkat kegigihan beliau, Imam Malik menerima Abu Ubaidillah Muhammad ibn Idris sebagai muridnya.
Keuntungan beliau berguru kepada Imam Malik adalah berkenalan dengan banyak ulama yang berkunjung ke Madinah. Di antaranya adalah Abdullah ibn Hakam dari Mesir, Asyhab Ibnul Qasim dan Laits ibn Sa’ad yang juga dari Mesir.
Berkat perkenalan itu, Imam Syafi’i tertarik untuk belajar ilmu agama ke Mesir dan ke wilayah-wilayah lainnya seperti Baghdad dan Kufah.
Pada usia 22 tahun, berangkatlah beliau dari Madinah ke Kufah untuk belajar. Di sana beliau bertemu dengan Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah). Di sini beliau mempelajari ilmu fiqih Mazhab Hanafi yang sangat berbeda dengan apa yang beliau pelajari kepada Imam Malik (Mazhab Maliki).
Imam Syafi’i membandingkan kedua mazhab ini dan memberikan analisa terhadap perbedaan tersebut dengan ilmu yang beliau peroleh. Setelah dari Kufah, beliau mengembara ke negeri lainnya.
Setelah dua tahun meninggalkan Madinah, beliau kepada Imam Malik. Dan betapa takjubnya Imam Malik ketika mengetahui ilmu Imam Syafi’i semakin meningkat. Karena itulah Imam Malik mengizinkan beliau untuk mengeluarkan fatwanya sendiri. Beliau telah belajar kepada Imam Malik selama tujuh tahun.
Menjadi Mufti di Yaman
Setelah Imam Malik wafat, beliau pergi Yaman. Perjalanan ke Yaman ini tidak lain karena Gubernur Yaman saat itu telah mendengar kemahsyuran beliau sehingga sang gubernur menjadikan belia sebagai mufti.
Meskipun Imam Syafi’i telah mencapai derajat tertinggi dalam ilmu pengetahuan dan menjadi pejabat negara, beliau tetap menuntut ilmu kepada guru-guru yang lebih alim. Di Yaman beliau belajar kepada Syekh Yahya ibn Husein, seorang ulama besar Yaman.
Di Yaman, beliau juga menikah dengan Hamidah binti Nafi’i yang merupakan seorang gadis dari keturunan Utsman ibn Affan. Dari pernikahan ini, beliau memiliki seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan.
Selain menjadi mufti, ada beberapa jabatan penting yang Imam Syafi’i jabat, yaitu kepala daerah di Najran maupun sekretaris negara. Ketika berada dalam lingkaran politik negara, ada saja fitnah yang menyebar. Imam Syafi’i telah difitnah karena terlibat dengan partai Syi’ah sehingga beliau ditangkap.
Setelah berada di perantauan selama 11 tahun, Imam Syafi’i kembali ke kampung halamannya pasca pembebasan. Di sana beliau disambut dengan suka cita. Apalagi beliau telah mampu mengeluarkan fatwa sendiri sesuai dengan kaidah keilmuan yang beliau miliki.
Beliau telah berhasil membentuk mazhab tersendiri dan mulai mengembangkannya. Perkembangan Mazhab Syafi’iyah semakin pesat ketika beliau hijrah ke Mesir. Banyak kitab yang beliau karang untuk menjelaskan tentang hukum-hukum fiqih berdasarkan Mazhab Syafi’iyah.
Imam Syafi’i meninggal dunia dalam usia 54 tahun bertepatan dengan tanggal 28 Juni 819 M.