Bahaya riya dalam beramal perlulah kita ketahui selaku umat Muslim. Dalam Al-Quran juga telah ditegaskan bahwa perbuatan riya merupakan perbuatan yang disenangi oleh setan.
وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ وَمَنْ يَّكُنِ الشَّيْطٰنُ لَهٗ قَرِيْنًا فَسَاۤءَ قَرِيْنًا
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena ria dan kepada orang lain (ingin dilihat dan dipuji). Dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa menjadikan setan sebagai temannya, maka (ketahuilah) dia (setan itu) adalah teman yang sangat jahat.”
Riya merupakan suatu perbuatan yang beramal karena tidak ikhlas. Beribadah bukan karena Allah melainkan dengan maksud diperhatikan dan dipuji oleh orang lain.
Sabda Rasulullah tentang Bahaya Riya
Orang-orang yang beramal namun riya, maka amalan tersebut akan tertolak. Nabi Muhammad bersabda:
لَا يَقْبَلُ اللهُ عَمَلًا فِيْهِ مِقْدَارُ ذَرَّةٍ مِنَ الرِّيَاءِ
Artinya: “Allah tidak menerima amalan yang bercampur sekadar zarrah pun dari riya.”
Pada suatu kesempatan lain, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya yang paling kutakuti atas kamu adalah syirik kecil.”
Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil ya Rasulullah?”
Nabi menjawab, “Itulah riya.” Kelak di hari kiamat, Tuhan akan berkata kepada orang-orang riya; pergilah kalian kepada orang-orang yang kamu riyakan itu. Dan mintalah balasan kepada orang-orang yang kamu tunjukkan amal ibadahmu itu.
Perlu kita pahami bahwa ikhlas dan riya memiliki perbedaan yang sangat bertolak belakang. Ikhlas itu beribadah kepada Allah dan tidak berkehendak apa pun selain ridha Allah.
Sedangkan perbuatan riya itu menaati Allah karena bertujuan untuk dilihat oleh manusia. Dalam suatu kisah mengenai perbuatan ikhlas dan bahaya riya pernah tersebut:
Baca Juga: Kisah Kejujuran Nabi Muhammad Perlu Kita Ketahui – Mari Kita Contoh
Kisah tentang Ikhlas dan Riya
Ada seorang abid di zaman Bani Israil keluar dari rumahnya dengan membawa kapak besar. Tujuannya adalah untuk menebang pohon besar karena pohon itu telah menyebabkan orang menjadi musyrik.
Si abid ini tak rela jika keimanan orang kampung akan goyah. Namun, saat si abid yang muda ini akan melaksanakan niatnya, datanglah seorang tua untuk melarangnya.
“Hai, anak muda! Janganlah engkau pohon milikku ini,” kata si orang tua.
Si abid ini marah seraya berkata, “Kau bilang pohon ini punyamu? Ceaka engkau, wahai orang tua! Ini adalah hak Tuhan. Dan kau harus tahu bahwa pohon ini telah menyesatkan orang-orang kampung. Aku harus menebangnya untuk menyelamatkan mereka dari kemusyrikan.”
Perdebatan antara si abid dan si tua ini berlangsung sengit. Mereka pun sempat adu fisik dan tentulah dimenangkan oleh si abid yang muda dan kuat.
Saat si abid hendak melanjutkan niatnya, lagi-lagi si tua ini mencegahnya dengan menghiba, memelas kasihan, dan merayu si abid ini. Si tua ini – entah dia setan berwujud manusia – berhasil pula merayu si abid ini. Dia menjanjikan uang sebesar 10 dinar setiap harinya. Uang itu akan ditemukan oleh si abid di bawah bantalnya ketika ia bangun.
Tentu saja, si abid mulai goyah hatinya. Ia berpikir bahwa seandainya setiap hari ia memperoleh uang 10 dinar, maka dalam sebulan ia akan mendapatkan 300 dinar?! Uang itu tentulah bisa aku sedekahkan untuk orang-orang miskin. Si abid pun menyetujui kesepakatan mereka.
Selama 3 hari si abid memperoleh uang. Namun, hari-hari selanjutnya si abid tidak lagi memperoleh uang di bawah bantalnya. Dengan amarah yang memuncak, ia membawa kapaknya dan berusaha menebang pohon itu lagi.