Aliran Stoisisme atau mazhab Stoa dipelopori oleh Zeno dari Kition yang hidup pada 336-264 SM. Nama Stoa merujuk kepada ruangan yang bertiang-tiang besar (pilar-pilar) yang dalam bahasa Yunani adalah “stoa poikile”. Tempat yang serupa itulah Zeno menyampaikan kuliah-kuliahnya kepada para pengikutnya.
Dalam aliran Stoisisme, pengetahuan itu berdasarkan pengalaman indera atau persentuhan indera dengan segala sesuatu. Pengetahuan umum memang bersendikan pengetahuan ini, tetapi yang umum itu tidak ada, sedangkan yang sungguh-sungguh ada adalah yang dapat dicapai oleh indera saja.
Stoa beranggapan tidak ada benda lain, kecuali dunia jasmani yang dapat mengalami hal ini, hanya dunia pengalaman itu sajalah yang sungguh-sungguh ada. Kecuali itu ada dua unsur yang pasif dan yang aktif.
Yang pasif adalah bahan yang sebenarnya dan yang aktif adalah budi yang dapat meresap pada segala-galanya. Tetapi budi itu jasmani, bertahan semacam fludium yang menjiwai segala badan dan barang.
Tidak ada perbedaan alam dengan Tuhan. Tuhan adalah alam dan sebaliknya. Aturan yang ada di dunia ini timbul dari alam, seluruh alam itu teratur merupakan harmoni dan aturan inilah yang merupakan nasib, timbul pertanyaan yang menunjuk kelemahan Stoa, yaitu kalau aturan uji dari alam atau Tuhan, dari mana adanya yang jahat? Stoa menjawab: jahat itu tidak ada, kalau ada itu hanya semu saja.
Baca Juga:
Etika pada aliran Stoisisme berdasarkan pada logika. Manusia itu merupakan bagian dari alam, sebab itu haruslah ia menyelaraskan (harmoni) dengan keselarasan alam. Keharmonisan itu mungkin jika manusia itu sendiri dapat hidup selaras dengan dengan budinya sendiri. Itulah sebabnya maka orang yang bijaksana harus mengatur nafsunya untuk menyelaraskan hidupnya dengan harmoni alam, alam dunia. Semua yang diberikan aturan alam (nasib) kepadanya, harus diterima dengan senang hati.
Logos dan Ratio dalam Aliran Stoisisme
Atomisme menganggap bahwa alam semesta sudah ditentukan oleh sesuatu kuasa yang disebut “logos”. Oleh karenanya semua kejadian dalam alam bertanggung menurut ketetapan yang tidak terelakkan. Jiwa manusia mengambil bagian dalam “logos” itu berdasarkan rationya.
Manusia sanggup mengenal orde universal dalam alam semesta, ia akan hidup bijaksana dan bahagia, asal saja ia bertindak menurut rasionya. Jika memang demikian ia akan menguasai nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara sempurna, supaya dengan penuh keinsyafan ia menaklukkan diri pada hukum-hukum alam. Sehingga orang yang hidup menurut prinsip-prinsip Stoisisme sama sekali tidak mempedulikan kematian dan malapetakan yang lain.
Karena ia pasti bahwa semuanya itu pasti akan terjadi menurut keharusan yang mutlak. Sudah nyata kiranya bahwa etika dalam aliran Stoisisme itu benar-benar bersifat kejam dan menuntut watak yang sungguh-sungguh kuat. Dengan demikian pengikut Stoisisme akan hidup tenang dan bahagia. Orang yang bijaksana akan melepaskan segala rasa, bahkan ia bebas dari segala nafsu. Hanya usaha mencari kebajikan itulah yang tertinggi, sedangkan kebajikan yang tertinggi itu adalah kebijaksanaan.